02165833839 contact@sptsk-spsi.org
FSP TSK SPSI
Home Berita Tuntutan Hak Normatif Buruh, Tidak Ada Batas Kadaluarsa

Tuntutan Hak Normatif Buruh, Tidak Ada Batas Kadaluarsa

December 2019 3115 Dilihat
Tuntutan Hak Normatif Buruh, Tidak Ada Batas Kadaluarsa

Menjadi aktivis atau pengurus serikat pekerja kadangkadang dihadapkan pada realitas kehidupan buruhyang sangat miris dan kenyataan penuh getir. Ada saja buruh atau mantan buruh korban PHK yang dating hanya untuk berkeluh-kesah dan 'curhat' tentang kondisi yang dihadapinya.

Ada buruh yang datang mengeluh tentang jam kerja di perusahaan tempat mereka bekerja. Dia kerja kerja 10 jam sehari bahkan lebih tapi tidak mendapat upah lembur. Ada lagi buruh yang sudah mengundurkan diri 3 tahun yang lalu dan mundurnya sesuai prosedur tapi dia tidak mendapatkan apa-apa, termasuk uang penggantian hak-nya saja tidak diberikan oleh perusahaan dengan alasan tidak diatur dalam PP atau PKB perusahaan tempat dia bekerja.

Ada juga yang mengadu upahnya beberapa tahun lalu dibayar dibawah UMK, tidak dapat THR/Tunjangan Hari Raya, dan ada juga buruh buruh yang di PHK 5 tahun lalu tapi hitung- hitungan pesangonnya kurang bahkan sebagian tidak mendapat uang pesangon sama sekali, dan seabreg masalah lainnya.

Itulah sebagian kondisi miris dan penuh getir yang dihadapi oleh buruh. Bagi sebagian buruh, jangan berharap kehidupan yang lebih layak, hanya untuk  sekedar mendapatkan 'yang sudah menjadi haknya saja' sangat sulit.

Tapi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstritusi RI No. : 100/PUU-X/2012, tanggal 19 September 2013atas judicial review Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 minimal member jalan terang bagi buruh yang pernah dilanggar hak normatifnya oleh pengusaha. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja yangsemula dibatasi paling lama 2 (dua) tahun, tapi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstritusi RI No. : 100/PUU-X/2012, tanggal 19 September 2013 tersebut menjadi tidak ada batasan kadaluwarsanya.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan konstitusi. Sebelumnya pasal 96 UU Ketenagakerjaan merumuskan bahwa, "tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi  kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak." Menurut putusan MK tersebut, ketentuan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 telah terbukti merugikan hak konstitusional para buruh.

Pada dasarnya MK berpendapat bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimuat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpandangan, pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut akan terpenuhi apabila mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Apalagi, lanjut Mahkamah Konstitusi, konsiderans atau bagian pertimbangan huruf d UU Ketenagakerjaan menyatakan, ". perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar

pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha".

Hubungan industrial bukan semata-mata merupakan hubungan keperdataan karena hubungan tersebut telah menyangkut kepentingan yang lebih luas (ribuan buruh bahkan jutaan buruh) artinya kepentingan publik, bahkan kepentingan negara, sehingga terdapat  perbedaan yang tipis antara kepentingan privat dan kepentingan publik yang mengharuskan adanya pengaturan dan perlindungan secara adil oleh negara.

Dengan keluarnya putusan MK tersebut, maka bagi para buruh yang hak normatifnya pernah dilanggar atau tidak dipenuhi oleh pengusaha, seperti upah yang tidak dibayar, upah yang dibayarkan tapi kurang, pesangon yang tidak bayar atau kurang, uang penggantian hak yang tidak dibayarkan dan kejadiannya sudah terlewat beberapa tahun yang lalu masih bisa dituntut kepada pengusaha.

Dan dengan keluarkanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, artinya upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi, dan tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu, karena upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik perseorangan maupun lewat peraturan perundang-undangan.

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diharapkan bisa membuka akses keadilan hukum yang riil bagi buruh. Walaupun terbukanya akses keadilan tersebut bukan berarti bisa serta merta bisa menguntungkan bagi kalangan buruh. Karena untuk menjangkau akses tersebut perlu proses dan tahap-tahap yang harus dilalui oleh buruh, sehingga kesadaran hukum bagi buruh sangat diperlukan agar mereka dapat merespon dengan tepat apabila berhadapan dengan masalah hukum berkaitan dengan pemenuhan hak mereka. Pada bagian lain, aparatur dan institusi penegak hukum juga harus konsisten membuka diri agar masyarakat bisa mengakses keadilan lewat jalur hukum. Tidak ada upaya menghalangi atau mempersulit.

Komitmen semua pihak yang berkaitan dengan pemenuhan keadilan masyarakat sangat diperlukan untuk menjamin terbukanya akses keadilan hukum. Membuka akses keadilan pada buruh dan masyarakat miskin (justice for the poor) itu sangat diperlukan, karena buruh seringkali digolongkan sebagai bagian dari kelompok miskin karena sering tidak dipenuhi hakhaknya dan tidak mendapat perhatian luas dari masyarakat. Untuk mengimplementasikan akses keadilan bagi buruh tersebut, para pihak khususnya serikat pekerja/serikat buruh sebagai tempat para buruh meminta perlindungan , secara simultan harus melakukan proses edukasi kepada buruh agar mengerti tentang hukum, misalnya melalui pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi program wajib dari serikat pekerja/serikat buruh.