02165833839 contact@sptsk-spsi.org
FSP TSK SPSI
Home Berita Memahami Diri : Langkah Awal Memulai Perubahan

Memahami Diri : Langkah Awal Memulai Perubahan

January 2020 1993 Dilihat
Memahami Diri : Langkah Awal Memulai Perubahan

(Catatan Sang Juru Ketik – Bagian I)

 

Ketika di penghujung malam, saya baru selesai menyelesaikan laporan yang diberikan Tuan Bendum (sebuah sebutan .yang sengaja saya buat untuk pemegang keuangan). Lembar demi lembar saya buka lalu saya cocokan, saya buka lagi dan saya cocokan lagi dengan sederet bahkan ratusan deret nama-nama perusahaan biar ketemu angkanya, berapa penerimaan bulanan dari setoran unit-unit kerja di perusahaan-perusahaan yang tersebar diseantero daerah yang jumlahnya ratusan itu.

Hasilnya ternyata tidak sesulit untuk membuka raturan deret nama-nama unit kerja atau perusahaan itu, karena ketika dicocokan terakhir ketemu hanya beberapa unit atau perusahaan saja yang setor, dan itupun nilai yang terkumpul hanya sekitar belasan juta rupiah saja.

Sebuah angka yang tidak seimbang untuk sebuah organisasi besar pada skala nasional dengan jumlah anggota ratusan ribu orang. Itupun udah kebilang lumayan kata Tuan Bendum, karena sebelumnya jauh lebih rendah dari angka itu.

Kaget ? Oh tidak, karena jauh hari sebelumnya  kabar itu sudah terdengar sayup-sayup, walaupun hanya terdengar samar-samar dan tertutupi oleh hiruk-pikuk dan tampilan yang kadang menyilaukan, gegap gempita di jalanan yang juga memerlukan modal dan tidak mungkin gratisan.

Lalu... semiskin dan sesulit itukah kondisinya ? Oh mudah-mudahan saja tidak.. dan dipastikan tidak ! Ini sebenarnya persoalan klasik, soal kepatuhan dan soal tanggung jawab.... dan karena saking klasiknya tidak pernah bisa diselesaikan dengan tuntas.

Masalahnya sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan... ! Ini hanya soal kesadaran dan kepatuhan saja, hanya soal ‘sedikit saja’ merubah perilaku sekaligus prioritas.

Kesadaran bukan saja terhadap hak tapi juga terhadap kewajiban. Saat hak itu melekat pada diri kita, pada saat yang bersamaan juga melekat kewajiban yang harus ditunaikan. Menunaikan kewajiban bukan saja hanya sekedar atas nama moral yang kadang abstrak dan kurang daya pengikat, tapi atas nama aturan dan norma, atas nama deretan pasal-pasal yang sudah disepakati, atas nama konstitusi bukan saja soal negara tapi konstitusi organisasi.

Kesadaran memang bak tumbuhan, yang perlu dipupuk dan disiram, bahkan kadang perlu diberikan obat perangsang untuk mempercepat pertumbuhan. Intinya perlu stimulan, perlu diurus dan dikelola serta perlu terus diingatkan..!

Sementara kepatuhan, ibarat dua sisi mata uang kalau disandingkan dengan kesadaran, walaupun diantara keduanya tidak selalu identik atau bisa disamakan. Kesadaran memang bisa melahirkan kepatuhan, walaupun kepatuhan tidak selalu lahir dari kesadaran, tapi bisa saja dari paksaan dan tekanan.

Dalam lingkup masyarakat yang komunal, seperti dalam sebuah komunitas atau organisasi masyarakat sipil yang cair, kepatuhan itu mestinya dibangun atas nilai-nilai kesadaran. Karena aturan dan standar perilaku biasanya bukan yang punya daya paksa seperti yang dilakukan negara, tapi berdasarkan aturan – aturan yang lahir dari sebuah kesepakatan mereka sendiri melalui mekanisme internal yang mereka sepakati seperti munas, kongres atau sebutan lainnya yang melahirkan aturan internal dalam bentuk anggaran dasar, anggaran rumah tangga, pedoman organisasi dan sebutan lainnya.

Melemahnya kesadaran dan semakin lunturnya kepatuhan bukanlah tanpa sebab. Pasti ada sebab dan faktor lain yang mempengaruhinya..

Bisa saja karena ikatan-ikatan kolektif semakin memudar dan tidak lagi jadi pegangan. Hubungan emosional dan ikatan perkawanan tidak lagi jadi dasar kebersamaan, tapi kebersamaan hanya dipahami dalam ikatan dangkal ceremonial yang kadang hanya jadi ajang lomba penampilan dan gagah-gagahan, sementara spirit kolektif kolegial dan kebersamaan substansialnya menjadi terabaikan dan semakin lama semakin pudar tergerus keadaan.

Penyebab lainnya juga karena aturan dan kesepakatan yang semestinya diterapkan dan ditegakkan, tapi hanya jadi pajangan dan bacaan usang dan dicari hanya pada saat dibutuhkan saat perebutan kepentingan.

Semua orang enggan bahkan ogah melaksanakan aturan karena takut dipersalahkan, ewuh pakewuh, kagok karena pertemanan, rasa belas kasihan, atau bisa saja karena terjebak kartu mati pembuat kesalahan. Ujung-ujungnya aturan yang dibuat mestinya dilaksanakan, malah sebaliknya cari cara pinter-pinteran untuk dilanggar dan diabaikan.

Penyebab lain yang juga masuk akal karena semakin pudarnya pengawasaan, sehingga yang dibawah semakin nyaman karena tidak diawasi dan karena sanksi tidak lagi jadi sesuatu yang ditakuti karena faktanya hanya sekedar jadi deretan pasal bak bait-bait puisi yang kurang berarti.

Dalam perspektif komunitas atau komunal yang lebih longgar, melunturnya kepatuhan dan memudarnya kesadaran itu bisa juga disebabkan fragmentasi dan budaya hedonisme yang kadang membuat sebagian orang jadi berubah orientasi.

Fragmentasi tidak selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan politis atau kepentingan elit, tapi bisa juga karena soal perubahan orientasi atau bahkan karena dis-orientasi sebagian kelompok atau segelintir aktor.

Dalam kondisi seperti itu, banyak orang merasa nyaman karena bebas berbuat dan bertindak sesuka hati. Aturan dan sanksi hanya sekedar pemanis yang tidak sedikit pun memberi arti, dan tidak lebih hanya sekedar untuk alasan dan alibi.

Sepintas di permukaan kelihatan besar karena terlihat rame saat gebyar. Tapi ketika masuk dan larut semakin dalam akan semakin terasa rapuh dan keropos. Rapuh karena semakin memudarnya ikatan, dan keropos karena tidak ada lagi fondasi penyangga yang menguatkan, yaitu aturan dan sanksi atas sebuah pelanggaran.

Lalu kondisi itu salah siapa dan siapa yang harus dipersalahkan? Jawabannya, tidak ada yang perlu dipersalahkan, apalagi dikambinghitamkan. Mencari kesalahan dan kambing hitam bukan waktu yang tepat dan cara yang bijak, karena hanya akan membuang banyak energi tak berarti dan kelihalangan banyak waktu menjadi terbuang dengan sia-sia.

Hal yang tepat di tengah situasi ketidak pastian adalah dengan cara memulai. Memulai untuk mengevaluasi diri, memulai untuk memperbaiki dan memulai untuk melakukan terobosan, walaupun hanya terobosan kecil dan sederhana tapi memberi sedikit harapan dan perubahan.

Ya... perubahan ! Mungkin kata itu yang paling tepat... PERUBAHAN.. Dan memang tidak ada lagi tawaran kecuali melakukan perubahan...!

Perubahan itu tidak selalu harus merombak dan mengganti sesuatu yang baru, dan perubahan juga tidak harus merubah sesuatu yang kecil menjadi besar, karena faktanya memang sudah besar....! Ini hanya perlu perubahan kecil pola pikir alias mind set, menata mentalitas menjadi lebih terarah.

Mungkin bagi sebagian kecil orang mendengar kata perubahan itu menjadi momok dan menakutkan... karena perubahan kadang akan membuat sebagian kecil orang menjadi terusik, karena terganggu kenyamanan dan kemapanannya.

Oh tidak... dan percayalah tidak !

Perubahan justeru akan membantu untuk menyelamatkan terhadap mereka yang sudah berada dalam zona nyaman. Karena kata para ahli motivasi, ketika kita merasa sudah berada pada zcona nyaman justeru kita sedang terganggu ketidak-nyamanannya. Dan ketika merasa nyaman kadang kita tidak siap menghadapi ketidak-nyamanan dan tidak sadar ketidak-nyamanan itu datang secara tiba-tiba dan tidak terduga.

Perubahan juga akan menambah kewaspadaan bagi mereka yang sedang dalam kondisi merasa kuat dan merasa besar.

Ilmu strategi selalu mengajarkan : “janganlah merasa kuat ketika anda tidak tahu seberapa besar kekuatan lawan atau pesaing anda, dan janganlah merasa besar ketika anda tidak bisa memastikan seberapa loyal pasukan yang ada dibelakang anda”.

Ini tidak sedang berbicara perang dan peperangan.... ini hanya bicara soal realitas hidup, tentang kenyataan,   tentang organisasi dan tentang pergerakan...!

Dan kita harus sadar... bahwa faktor sekaligus penyebab ketidak-majuan dan anti perubahan itu salah satunya adalah mentalitas minor yang merasa kuat, merasa besar, merasa pintar, merasa aman dan nyaman dan sejenisnya...

Maka langkah awal yang harus kita lakukan ketika kita memulai perubahan adalah memahami diri kita sendiri, melakukan kesadaran diri : apa kekurangan dan kelebihan kita, apa kekuatan dan kelemahan kita.

Kesadaran diri atau self awareness adalah keseluruhan bagian internal kita, yang meliputi pikiran, emosi , perilaku  serta dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain yang ada di sekeliling kita.

Memulai perubahan perlu dibangun atas kesadaran diri, agar kita bijak untuk bisa mengakui kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri, agar kita paham apa yang sebaiknya didahulukan untuk dilakukan dan apa yang berikutnya harus direncanakan, .agar kita bisa berhitung dan mengukur diri untuk merencanakan. Karena benar kata pepatah : gagal merencanakan, sama saja dengan merencanakan kegagalan.

Kesadaran diri juga selalu mengajarkan kita  bahwa hidup harus fokus dan berorinetasi pada tujuan. Seni hidup kadang memaksa kita untuk menyesuaikan diri dengan keadaan orang lain, tapi bukan berarti harus larut dan terhanyut dengan keadaan.

Karena yang baik dari apa yang kita lihat dari orang lain, belum tentu  baik ketika kita sendiri lakukan. Semua harus dipadankan dengan ukuran, hitungan dan kemampuan .Tindakan untuk melakukan perubahan tanpa didasari perencanaan yang baik, tanpa disesuaikan dengan hitungan dan ukuran kemampuan, hanya akan melahirkan kesia-siaan dan kekecewaan.

Perubahan memang memerlukan keberanian untuk melakukan tindakan, tapi bukan asal bertindak. Tapi tindakan yang didasarkan pada perencanaan yang bisa diukur dan dikalkulasi dengan hitungan dan ukuran kemampuan yang kita punya.  

---- B E R S A M B U N G ---