Hukum perburuhan yang berlaku di Indonesia pada dasarnya menganut asas ‘no work no pay’, yang artinya upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 93 ayat (3) UU No. 13 tahun 2003 ada beberapa pengecualian pemberlakuan asas no wor no pay tersebut diantaranya terhadap pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan yang ketentuannya sebagai berikut :
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% dari upah;
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Melihat pada ketentuan tersebut, maka dapat dilihat bahwa benar pada bulan pertama sampai bulan ke 4 pekerja mendapatkan gaji penuh. Pada bulan ke 5 sampai bulan ke 8 mendapatkan 75% dari gaji. Kemudian pada bulan ke 9 sampai bulan ke 12 mendapatkan 50% dari gaji.
Jika lebih dari 1 tahun, maka dibayar sebesar 25% dari gaji sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Yurisprudensi mengenai pembayaran upah pekerja yang sakit berkepanjangan berupa prosentase tertentu dari gaji yang biasa diterima tersebut misalnya dapat kita lihat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 911/K/Pdt 2009.
Berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja/PHK dengan alasan pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
Walaupun pada dasarnya pengusaha dilarang melakukan PHK dengan pekerja yang menderita sakit berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan, terhadap pekerja/buruh yang mengalami sakit menahun/berkepanjangan tersebut dapat dilakukan PHK setelah sakitnya melampaui waktu 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
Sedangkan pengaturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK terhadap pekerja/buruh yang berhalangan masuk kerja karena sakit berkepanjangan lebih dari 12 bulan diatur dalam Ketentuan Pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :
“Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Walaupun yang diatur dalam Pasal 172 UU Ketenagakerjaan adalah PHK yang dimohonkan oleh pekerja, namun pasal tersebut juga dapat digunakan jika pengusaha yang berinisiatif melakukan PHK. Ini karena dalam hal pekerja telah sakit lebih dari 12 bulan, baik pekerja maupun pengusaha mempunyai hak yang sama untuk meminta dilakukannya PHK.
Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 411 K/Pdt.Sus/2011, pekerja memohon untuk dilakukan PHK karena pekerja tidak mampu lagi bekerja dengan kondisi kakinya. Yang mana kondisi tersebut sudah berlangsung lebih dari 12 bulan. Hakim mengabulkan gugatan pemohon (pekerja) dan pemohon mendapatkan pesangon sesuai dengan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan.
Contoh lain adalah ketika perusahaan memberhentikan gaji sekaligus memutuskan hubungan kerja pekerjanya dengan alasan sakit lebih dari 12 bulan terus-menerus. Pekerja berdalih tidak bisa bekerja karena masih dalam masa pengobatan dan penyembuhan setelah mengalami kecelakaan kerja. Mahkamah Agung dalam perkara ini menyatakan hubungan kerja putus dan memberikan pesangon kepada pekerja sesuai Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No 911 K/Pdt.Sus/2009.