Secara teori, industri atau perusahaan merupakan kombinasi dari modal, manajemen dan pekerja, dimana mereka adalah suatu kesatuan yang terpisah dan sebagian besar mempunyai motivasi yang berbeda pula. Pemodal adalah yang menanamkan modal dan perhatian utama mereka adalah untuk mendapat keuntungan semaksimal mungkin. Dan, manajemen dalam prakteknya selalu berada disana untuk melindungi kepentingan dari para pemodal.
Pada prosesnya, pekerja/buruh tidak jarang menjadi pihak yang dikorbankan dan menjadi korban ekploitasi pemodal dan manajemen. Sebagai partner dari industri, setiap pekerja/buruh tentunya menginginkan keadilan dan mendapatkan haknya sebagai hasil pelaksana industri. Tentunya pekerja/buruh mempunyai kekuatan untuk menghilangkan permasalahan seperti rendahnya pengupahan, buruknya kondisi pelayanan kesehatan, keselamatan kerja dan sebagainya.
Tetapi secara individul pekerja/buruh tidak mampu untuk berjuang sendiri atas hak – haknya melawan hebatnya kombinasi antara pemodal dan manajemen dimana mereka mempunyai kekuasaan, uang dan pengaruh. Maka untuk menghindari ketimpangan tersebut, pekerja atau buruh harus mengorganisir diri untuk membentuk serikat pekerja. Melalui serikat pekerja inilah segala aspirasi atau kepentingan pekerja/buruh disampaikan kepada pengusaha salah satunya melalui negosiasi perjanjian kerja bersama (PKB). Dimana salah satu fungsi dari serikat pekerja itu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2000 adalah sebagai pihak dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Perjanjian kerja bersama (PKB) itu sendiri adalah semua perjanjian tertulis sehubungan dengan kondisi-kondisi kerja yang diakhiri dengan penandatangan oleh pengusaha, kelompok pengusaha atau satu atau lebih organisasi pengusaha disatu pihak dan pihak lain oleh perwakilan organisasi pekerja atau perwakilan dari pekerja yang telah disyahkan melalui peraturan dan hukum nasional (ILO Recommendation No. 91 paragraf 2). Dan menurut Undang-Undang no 13/20033, PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja (yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan) dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Perjanjian kerja bersama mengikat pihak-pihak yang bertanda tangan di dalamnya dan secara otomatis peraturan perusahaan tidak berlaku lagi dengan adanya perjanjian kerja bersama, kecuali nilai dari peraturan perusahaan tersebut lebih tinggi dari pada yang tercantum di dalamperjanjian kerja bersama ( ILO Recommendation 91 paragraf 3 (1), (2) dan (3) ).
Tujuan dari perjanjian kerja bersama itu sendiri setidak-setidaknya adalah untuk :
Perjanjian kerja bersama ini akan berfungsi efektif bila dalam pencapaian suatu kesepakatannya kedua belah pihak melaksanakannya dengan prinsip itikad yang baik dan sukarela (the principle of good faith and voluntary bargaining).
Ada atau tidaknya Perjanjian Kerja Bersamaa/PKB di perusahaan menjadi antara perusahaan yang ada serikat pekerjanya dengan perusahaan yang tidak ada serikat pekerjanya.
Kalau di perusahaan tersebut ada serikat pekerja, maka semestinya yang berlaku di perusahaan tersebut adalah PKB bukan PP (Peraturan Perusahaan). Sementara di perusahaan yang tidak ada serikat pekerjanya, maka yang yang berlaku adalah peraturan perusahaan bukan Perjanjian Kerja Bersama/PKB. PKB itu sendiri dibuat dan dibahas serta disepakati bersama antara pengusaha dan serikat pekerja, sementara peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pihak pengusaha.
Tapi persoalannya disini, tidak semua serikat pekerja/serikat buruh mempunyai aktivis dan para pengurus yang ada di dalamnya mempunyai kemampuan yang cukup untuk mewakili dan memperjuangkan para pekerja/buruh yang menjadi anggotanya? Secara jujur harus diakui bahwa salah satu titik lemah serikat pekerja/serikat buruh adalah terbatasnya sumber daya manusia (human resources) yang mampu dan terampil dalam melakukan negosiasi atau berunding bersama dengan pihak pengusaha/manajemen. Apalagi di sektor-sektor usaha padat karya seperti garmen dan sepatu yang pekerja/buruhnya berpendidikan relatif rendah. Menghadapi kondisi dan titik lemah tersebut tentunya anggota dan pengurus serikat pekerja tidak boleh berdiam diri, tapi harus berusaha untuk meningkatkan kemampuan sehingga meningkatkan posisi tawar serikat pekerja/serikat buruh di hadapan pengusaha.
Sehingga dampak dari kondisi tersebut, masih banyak perusahaan yang sudah bertahun-tahun ada serikat pekerjanya tapi belum ada PKB/Perjanjian Kerja Bersama, atau sudah ada PKB hanya sekedar formalitas untuk syarat bagi buyer/pihak pemberi order. Disebut formalitas, karena isi aturan yang ada di dalamnya sama dengan undang-undang atau tidak ada yang lebih baik daripada yang diatur dalam undang-undang. Sehingga komentar yang pas untuk dua kalimat terakhir adalah buat apa di perusahaan ada serikat pekerja kalau ‘tidak becus’ membuat PKB dan buat apa juga ada PKB kalau isinya sama persis dengan undang-undang, dan kedua fakta tersebut sama-sama menunjukkan ketidakberdayaan dan sama memalukan. Karena PKB atau perjanjian kerja bersama itu semestinya mengatur hal-hal yang lebih baik daripada apa yang hanya sekedar diatur dalam undang-undang.
Kalau hanya menyusun draft atau mengajukan draft PKB saja mungkin tidak terlalu sulit. Dari sekian rangkaian perjuangan untuk menghasilkan PKB yang ideal di perusahaan yang dianggap paling sulit adalah ketika memasuki tahapan pembahasan dan negoisasi. Maka salah satu pekerjaan rumah yang harus terus dilakukan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan negosiasi anggota dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh khususnya dalam berunding bersama/PKB.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) terbitan Departemen P dan K (sekarang Diknas), negosiasi didefenisikan sebagai proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain.
Sedangkan menurut Bill Scott (1990) yang dikutip Zainal Abidin, mengungkapkan bahwa negosiasi adalah sebuah bentuk pertemuan antara dua pihak (pihak kita dengan pihak lain) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu persetujuan bersama. Agar tercipta persetujuan bersama, langkah-langkah negosiasi, membutuhkan persyaratan , metode, taktik dan strategi.
Dalam negosiasi atau perundingan PKB, banyak aspek yang harus dipersiapkan terutama oleh tim perunding dari serikat pekerja. Tim perunding dari serikat pekerja harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan negoisasi yang baik. Mereka hendaknya mempersiapkan diri dengan beberapa pengetahuan yang menyangkut: teori dasar ekonomi dan iklim politik, perundang-undangan dan aturan yang berlaku, kondisi perusahaan (profit and loss), karakter perusahaan dan manajemen, dan sebagainya.
Tahapan Negoisasi PKB
Agar menghasilkan hasil negosiasi yang maksimal, dalam mengajukan PKB dan melakukan negoisasi PKB dengan pengusaha, serikat pekerja setidaknya harus melakukan tahapan-tahapan negosiasi sebagai berikut :
A. Tahap Persiapan.
Persiapan adalah dasar dari suatu negosiasi yang efektif, dan tentunya untuk pencapaian sukses negosiasi. Persiapan mungkin akan memerlukan waktu beberapa hari atau minggu tergantung dari kondisi tuntutan yang akan diajukan;
Persiapan yang memadai pada setiap negosiasi meliputi mempelajari kekuatan dan kelemahan kedua posisi masing-masing secara bersamaan dengan mempelajari kebutuhan kelompok lain dan cara-cara untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Negosiator yang sukses menyadari bahwa persiapan yang matang akan sangat berguna bagi suksesnya usaha, dan mereka juga menyadari bahwa tidak akan bernegosiasi bila tidak mempunyai persiapan yang matang, tetapi juga jangan takut untuk melakukan negosiasi
2. Tahap Membuat (Mempersiapkan) Tuntutan
3. Mengajukan Cara Pemecahan Masalah
4. Tahap Perundingan - TAWAR MENAWAR.
BERSAMBUNG
*) disadur dari berbagai sumber