Fakta yang sering terjadi, seringkali pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja atau karyawan yang melakukan atau diduga melakukan kesalahan berat. Pengusaha tidak jarang melakukan penutusan hubungan kerja seketika tanpa minta persetujuan atau penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial.
Sehingga akibat PHK secara seketika yang dilakukan oleh pengusaha tersebut, terhadap tindakan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, sehingga Ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, termasuk juga apabila dalam Perjanjian Kerja Bersama dicantumkan klausula kesalahan berat sebagai alasan untuk melakukan PHK, maka ketentuan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tindakan PHK apabila dipaksakan dilakukan tanpa proses hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut terhadap pekerja yang melakukan atau diduga melakukan kesalahan berat berdampak pada hilangnya hak asasi karyawan atau pekerja yang bersangkutan, dan dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah atau preassumption of innocence.
Apalagi keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah dipertegas dengan keluarnya Surat Edaran Menakertrans bernomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005. Dimana pada poin 3 huruf a Surat Edaran Menteri tersebut disebutkan bahwa PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 baru dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Isi pokok dari surat edaran menteri itu adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Walaupun penggunaan anak kalimat ‘alasan mendesak’ dalam surat edaran menteri tersebut menjadi permasalahan tersendiri, karena yang dimaksud dengan ‘alasan mendesak’ tersebut tidak diberikan definisi atau pengertian yang jelas dan kongkrit dalam surat edaran menteri tersebut.
Sementara kalau merujuk pada ketentuan dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1603 huruf o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Sehingga penggunaan klausula ‘alasan mendesak’ dalam surat edaran tersebut menjadi kontraproduktif dan menimbulkan multi tafsir tersendiri bagi berbagai pihak, khususnya kalangan buruh yang sedang mencari keadilan.
Intinya pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, ketiadaan putusan pidana atau sebelum ada putusan pidana, maka pengusaha tidak boleh melakukan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK karena alasan melakukan kesalahan berat. Sehingga apabila pihak pengusaha mengajukan penyelesaian PHK karena kesalahan berat tersebut ke mediator, maka sebaiknya pihak mediator menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana.
Sehingga konsekuensinya, apabila si karyawan tersebut sedang dipenjara atau ditahan oleh pihak yang berwajib karena melakukan kesalahan berat tersebut, maka sebelum ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003, pihak pengusaha tidak dibebani kewajiban membayar upah (kecuali kalau dalam PKB mengatur harus membayar upah), tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluara pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 orang tanggungan sebesar 25% dari upah.
b. untuk 2 orang tanggungan sebesar 35% dari upah.
c. untuk 3 orang tanggungan sebesar 45% dari upah
d. untuk 4 orang tanggungan atau lebih sebesar 50% dari upah.
Bantuan sebagaimana dimaksud diatas diberikan untuk paling lama 6 bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. Pengusaha baru dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena si pekerja atau buruh tersebut sedang dalam proses perkara pidana.
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 bulan berakhir, dan si pekerja/buruh tersebut dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
Tapi dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 bulan berakhir dan si pekerja/buruh tersebut dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.