02165833839 contact@sptsk-spsi.org
FSP TSK SPSI
Home Berita OMNIBUS LAW JANGAN KORBANKAN KAUM BURUH

OMNIBUS LAW JANGAN KORBANKAN KAUM BURUH

December 2019 687 Dilihat
OMNIBUS LAW JANGAN KORBANKAN KAUM BURUH

Rencana pemerintah untuk mengajukan omnibus law melalui UU Cipta Lapangan Kerja cukup mengkhawatirkan kaum buruh. Bagaimana tidak karena rencana pengajuan omnibus law itu telah memunculkan wacana regulasi yang akan merugikan kaum buruh.

Di bidang perburuhan sendiri,  yang selama ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memunculkan berbagai wacana dan polemik terkait dengan isu akan dikurangi besaran pesangon dan dipermudahnya regulasi pemutusan hubungan kerja, semakin longgarnya jaminan sosial, semakin lemahnya perlindungan kepastian hukum bekerja bagi buruh karena rencana pengaturan kerja kontrak dan outsourcing yang semakin merugikan kaum buruh; dan juga soal pengupahan yang semakin tidak berpihak bagi kaum buruh.

Dari undangan yang diedarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang ditujukan kepada Pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh tingkat nasional pada tanggal 18 Desember 2019 yang lalu,  setidaknya ada 4 (empat) materi atau pokok bahasan yang akan dimasukan dalam rancangan omnibus law melalui pengajuan rancangan UU Cipta Lapangan Kerja yaitu :

  1. PHK dan Pesangon
  2. Jaminan Sosial
  3. PKWT, Outsourcing dan WKWI
  4. Pengupahan

Menyikapi rencana omnibus law yang merugikan kaum buruh tersebut, disela-sela rapat perdana Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia di Brits Hotel Karawang, Jawa Barat kemaren (18/12/2019) Ketua Umum PP FSP TSK SPSI Roy Jinto Ferianto sempat menyampaikan pernyataan terkait dengan rencana pemerintah yang akana mengajukan omnibus law melalui UU Cipta Lapangan Kerja ke DPR RI yang dikhawatirkan merugikan atau bahkan mengorbankan kaum buruh.

Menurut Jinto, rencana pemerintah yang akan mengajukan omnibus law tersebut harus menjadi perhatian serius serikat pekerja/serikat buruh yang ada di Indonesia karena wacana yang berkembang terkait omnibus law tersebut substansinya seolah-olah mengkambinghitamkan UU Perburuhan sebagai biangkerok terhambatnya penciptaan lapangan kerja dan kebijakan investasi di Indonesia.

“Kalau rencana omnibus law itu benar-benar merugikan kaum buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh dan segenap buruh yang ada di Indonesia harus berkoalisi dan bersatu padu untuk melawan dan membatalkan rencana omnibus law yang merugikan kaum buruh tersebut. Kalau untuk memperbaiki kebijakan investasi dan mendorong penciptaan lapangan kerja silahkan saja, tapi jangan coba-coba mengorbankan kaum buruh,  karena kondisi yang ada sekarang saja kaum buruh sudah banyak dirugikan bahkan dikorbankan”,  tegas Jinto disela-sela rapat yang berlangsung di Brits Hotel Karawang 18/12/2019).

Pemerintah lanjut Jinto, mestinya bisa melihat secara obyektif bahwa dengan UU yang ada hari ini saja, yang katanya pemerintah aturan PHK dan pesangon memberatkan pengusaha atau investor itu sebenarnya tidak dinikmati oleh kaum buruh, karena mayoritas pekerja atau buruh Indonesia kebanyakan tidak mendapatkan perlindungan kepastian hukum bekerja karena status hubungan kerja mereka kebanyakan sebagai pekerja kontrak bahkan tidak sedikit sebagai pekerja kontrak seumur hidup.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ketua Bidang Hukum dan Advokasi PP FSP TSK SPSI, Andri Herman Setiawan yang menambahkan bahwa regulasi tentang perburuhan seperti pengupahan, PHK dan pesangon, jaminan sosial dan status hubungan kerja bukanlah penghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja.

“Penghambat lapangan kerja dan investasi bukan regulasi tentang perburuhan dan pengupahan. Tapi penghambat lapangan kerja dan investasi itu sebenarnya adalah korupsi dan  masalah perijinan yang berbeli-belit, isu keamanan dan lingkungan serta isu soal kepastian hukum. Sekali lagi bukan soal upah buruh, pesangon dan regulasi buruh yang ada”, ungkap Andri dengan nada serius.

Dan pernyataan yang agak miris disampaikan oleh Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan PP FSP TSK SPSI Holygreata. Menurut Ita (begitu panggilan akranya – red) apabila hak-hak normative buruh semakin diperlonggar, ketentuan pengupahan diperlonggar, aturan hubungan kerja diperlonggar, ketentuan jaminan sosial, PHK dan pesangon diperlonggar maka yang akan kena dampak paling buruk adalah pekerja perempuan, karena hampir 80% populasi pekerja pada sektor padat karya (khususnya garment, tekstil dan alas kaki) didominasi oleh pekerja/buruh perempuan.

“Dengan aturan yang ada saat ini saja pekerja perempuan merasakan betapa beratnya mengelola perencanaan keuangan keluarga karena nilai upah yang diterimka tidak sesuai dengan kebutuhan layak buruh. Sementara pada sisi lain harga - harga kebutuhan semakin naik, biaya pendidikan dan kesehatan semakin naik. Belum lagi kebanyakan pekerja perempuan yang status hubungan kerjanyua tidak jelas karena status hubungan kerjanya sebagai pekerja kontrak yang setiap saat dibayangi oleh ancaman diberhentikan dari pekerjaan tanpa ada jaminan apapun. Dan  ini jelas apabila dengan omnibus law ini perlindungan hukum terhadap buruh semakin diperlonggar, maka akan semakin memperburuk nasib pekerja perempuan” ucap Ita dengan lugas.

Dan apabila pekerja perempuan terkena dampak buruk, lanjut Holygreata maka ini akan mengancam kehidupan sosial ekonomi rakyat secara keseluruhan, karena efek dominonya bisa berdampak pada menurunnya kwalitas gizi bayi  dan anak, reproduksi dan juga hal-hal lain yang berpengaruh pada kehidupan kaum buruh dan keluarganya.